Cuaca
di pagi hari begitu mendung tapi belum nampak tentara air melakukan agresinya,
tak kuasa aku terbangun, sedikit pusing karena dinginnya angin sampai menembus
selimut dan kulitku diiringi suara berisik yang menyengat telinga hingga terasa
sakit. Tak kuasa terbangun dari kasur dan menuju beranda. Terlihat bapak sedang
mengerjakan sesuatu.
Akupun
menyapa “Pagi pak?”
Bapakku
menengok keatas lantas menjawab “Pagi juga nak, tumben jam segini baru bangun”.
Sambil
cemberut manja aku menjawab “Karena bapak juga membuat Fira terbangun”.
“Maaf
nak, bapak lagi memperbaiki pagar punya Bu Farah, kebetulan tadi malam beliau
meminta tolong supaya pagar depan rumah beliau untuk diperbaiki”. Bapak
menjawab sambil tersenyum.
“Dilanjutkan
saja pak kerjaannya, semangat!!” Aku memotivasi, menutupi jendela kembali ke
tempat tidur.
Diatas
singgasana, aku menutupi sekujur tubuh yang kaku dengan selimut tebal berlambangkan
klub sepakbola kesayangan, Juventus. Tak lama kemudian dengan lembutnya ibuku
memanggil dari bawah “Fira, Fira.,.,. cepat bangun.,., kamu tidak kerja hari
ini?”. Kujawab “Iya bu, sebentar lagi”
Aku
terbangun dengan wajah malas melaju ke kamar mandi. Setelah semuanya siap,
melangkahlah diriku menuju kantor, tak lupa mengucap salam dan mencium kedua
tangan orang tuaku.
Sedikit
cerita mengenai keluargaku, dulu sebelum bapak menikahi ibu, beliau sempat
menikah dengan istri pertamanya, namun tidak begitu jelas alasan beliau
berpisah dengan istri lamanya dan tak pernah menjelaskannya sama sekali. Ketika
itu, aku baru beranjak di usia belum genap satu tahun, dan tak lama kemudian
menikahlah dengan ibuku ini. Meskipun berstatus sebagai ibu tiri tapi aku
selalu menganggapnya sebagai ibu kandungku sendiri, she is a great woman I ever have.
Di
tengah perjalanan menuju stasiun, aku berpapasan dengan bu Farah yang terlihat membawa
tas belanja yang penuh sesak dengan sayur-sayuran. Beliau tersenyum kepadaku
lalu berkata “Selamat pagi nak Rafa? Tidak seperti biasanya kamu pergi
sendirian, Ratna-nya kemana?”
Kubalas
dengan senyuman dan menjawab “Selamat pagi bu, kebetulan Ratna sedang ada tugas
keluar kota, jadinya berangkat sendirian”.
“Oh,
kalau begitu hati-hati ya?” Beliau tersenyum dan aku pun berlalu.
Sebenarnya
ada rasa heran sebab setiap berangkat kerja, aku selalu bertemu beliau dan selalu
memanggilku Rafa, kepanjangan dari namaku Shafira Rafa Purnama. Sempat
kepikiran barangkali ada kesamaan vocal huruf -a antara namaku dan beliau, ah entahlah.
Beliau janda cantik di komplek ini.
Hujan
mulai turun. Aku duduk di kursi dimana aku selalu melakukan pekerjaan dengan
dihiasi tumpukan berkas-berkas di atas meja yang harus diselesaikan secepatnya.
Dua tahun lamanya ku bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta di kota
metropolitan ini. Sekian lama aku berhasrat untuk pindah kerja dan mencari
tantangan baru di perusahaan lain, akan tetapi ada satu hal yang membuatku
betah yaitu karena Kevin. Ya betul, seorang duda tampan yang berkulit putih
dengan tebalnya janggut hitam di muka. Dia sudah bekerja disini kurang lebih 6
bulan.
Sejujurnya
di usiaku yang menginjak umur 25 ini, rasa iri kerap menghinggapi kepada
teman-teman sebaya yang sudah mengakhiri masa lajangnya diusia yang tepat,
bahkan sampai mempunyai anak yang sudah bersekolah dan hidup bahagia. “Pagi Ra,
bagaimana keadaanmu hari ini?” Hatiku berdegup kencang seakan-akan dunia ini
akan dihantam gempa berkekuatan tinggi saat Kevin menegurku.
“Hmmm
baik, kalau kamu?” Ku tak kuasa menahan gemetar dibibir saat menjawab.
“Baik
juga, ngomong-ngomong nanti siang kita makan yuk? Nanti aku yang traktir deh”
Dia tersenyum selagi memamerkan muka tampannya dihadapanku dan jantungku
berdegup dengan sangat kencang.
Dengan
rasa senang yang bercampur aduk, ku menganggukkan kepala dengan jawaban yang
dingin “Hmmm, ok”
Setengah
tumpukan berkas selesai dikerjakan dan menunjukan waktu istirahat. Dengan
perasaan yang berbunga-bunga, aku merias wajah dulu sebelum Kevin datang ke
mejaku.
“Ayo
kita makan, aku sudah nggak tahan pengen makan ayam penyet di resto sana” Sambil
membetulkan kerah kemejanya.
“Baiklah,
aku sudah selesai dengan pekerjaanku mumpung hujannya lagi reda” Kujawab
bersama Kevin dan langkah kakiku kesana.
Setelah
makan siang, Kami kembali ke ruangan kerja masing-masing, Kami berdua memulai
kembali pekerjaan sampai tak terasa waktu jam pulang pun tiba. Dari kejauhan
dia seperti ingin menghampiri, ya betul sesuai dengan firasat, dia tersenyum
dan mengajak diriku untuk pulang bersama.
“Ra,
kita pulang bareng yu, sekalian kita mampir ke rumah makan dulu, barangkali
kamu juga lapar kan?” Dia dengan tulus mencoba menawarkan kebaikannya, terlihat
dari senyum dari bibirnya yang menawan seperti bunga mawar yang baru saja
mekar.
Kujawab
dengan halus “Maaf Vin, aku pulang sendiri aja, takut kemalaman dijalan”
“Ok,
baiklah, tapi kamu gak apa-apa pulang sendirian?” Ucapnya.
“Gak
apa-apa Vin, udah terbiasa kok” Kujawab dengan sedikit senyuman.
Sebenarnya
dalam hati, ini merupakan momen yang tepat berduaan dengan Kevin tapi apa daya
karena sifatku yang pemalu dan tidak mau merepotkan orang, kuputuskan untuk
tidak menerima ajakan Kevin. Aku tinggalkan jejak ini, menembus semerawut kota
yang lembab untuk pulang ke istana.
***
Para
tamu undangan datang, salah satu hari besarku tiba, aku duduk di pelaminan
bersama sang suami tercinta, Kevin. Tak terasa air mata yang berlinang keluar
dari mata ini. Sejenak aku memikirkan ibu kandungku yang sudah almarhum. Mungkin
jika ibu ada disini, lengkaplah sudah momen terindah ini. Namun, Seketika
perasaanku tiba-tiba aneh ketika melihat ibu Farah datang ke atas pelaminan
menyalami aku sembari matanya berkaca-kaca dipercantik dengan senyuman “Selamat
ya nak, akhirnya impianmu terwujud” Ucap bu Farah. Aku merasa bingung apa yang
sebenarnya terjadi tiba-tiba beliau mengatakan tersebut. Aku pun tak ambil
pusing, mungkin karena bu Farah terharu dengan suasana pernikahan ini.
***
2
tahun sudah aku menjalani hidup sebagai istri Kevin yang telah dikaruniai
dengan satu anak perempuan yang cantik dan tinggal di rumah nan sederhana yang
dihiasi kebun mawar di Kota Bogor serta 1 bulan sudah ibu meninggalkanku akibat
sakit keras. Wanita yang hebat telah pergi untuk selama-lamanya.
Di
suatu hari, Kevin mengajakku untuk berlibur ke rumah Bapak, tak lupa
inisatifnya Kevin membawakan talas Bogor kesukaan beliau. Hujan turun
menghujani kota selama perjalanan. Tibalah kami di tujuan. Ku mengetuk pintu
rumah namun tak terturup rapat. Alangkah terkejutnya ketika kami melihat bu
Farah sedang terlihat serius mengobrol dengan bapak di ruang keluarga membuatku
mengingat kembali almarhum ibu. Di dalam hatiku berkata bapak sungguh tega,
baru saja satu bulan ditinggal ibu, bapak sudah pengen mencari pengganti yang
baru. Hal itu menimbulkan prasangka kepada mereka berdua, jangan-jangan apa
yang sudah dilakukan ketika satu bulan bapak ditinggal ibu. Dari belakang Kevin
mengendong anakku saat aku masuk ke dalam dengan emosi.
“Nak,
jangan berburuk sangka dulu, ibu mau menjelaskan”
Dengan suara yang lembut ibu Farah mencoba menenangkan.
“Ibu
darimana!!? ibuku sudah meninggal !!!” Emosi diriku memuncak.
Bapak
coba membantu menenangkan “Dengarkan dulu nak, ada sesuatu yang harus
dijelaskan”.
“Tak
ada yang harus dijelaskan pak, Ninda sudah lihat dengan kepala dan mataku
sendiri, sungguh teganya bapak mengkhianati ibu” Diriku meledak-ledak seperti
halnya gunung Krakatau yang meletus.
Emosiku
sedikit kian surut ketika dengan lembutnya Kevin menenangkan “Tenang dulu mah,
tenang, biarkan bapak sama bu Farah bicara apa yang terjadi sesungguhnya”
Aku
terdiam, cucuran air mata mengalir di pipi, bu Farah mencoba membasuhnya tetapi
aku menangkalnya. Aku memandang beliau dengan seksama, matanya berkaca-kaca.
Dengan kejadian ini, aku bertanya-tanya, apa yang terjadi.
Bapak
mulai menjelaskan dihadapanku, aku duduk diapit oleh suamiku dan bu Farah “Sebenarnya
bapak sedang berdiskusi tentang rahasia ini bersama bu Farah untuk membuka ini
kepadamu dan kebetulan ini lah momen yang tepat untuk dibicarakan. Begini nak,
sudah lama bapak berkeinginan untuk mengutarakan ini tetapi ibumu mencegah karena
ibu sendiri yang ingin menyampaikannya kepadamu langsung namun beliau dilema
sebab beliau terlalu sayang padamu dan takut kamu tidak menyayangi beliau lagi,
sehingga sampai beliau masih hidup rahasia ini terus dipendam. Kembali diriku
mengingat wajah beliau.
“Dua
hari sebelum beliau wafat, beliau menyampaikan pesan untuk membukanya suatu
saat nanti” Bapak menuju kamar untuk membawa sesuatu, Kevin disamping terus menerus
tanpa henti mengusap pundakku.
Bapak
menyodorkan selembar kertas padaku “Ini bacalah”
Kubaca
kata per kata, kalimat per kalimat secara detail apa yang beliau tulis, rasa
sedih terus menerus menggelayut tak kuasa hati ingin memeluk beliau, terbayang
wajah ayu beliau. Tiba-tiba, tanda tanya besar muncul di benak, ketika dalam surat
itu di paragraph terakhir beliau menulis “Jaga dan rawat bapak sama ibumu, ibu
tahu kamu sedang membaca surat ini bersama beliau, buat mereka bangga” Aku pun
terbelalak, apa yang dimaksud itu mungkin bu Farah. Aku masih tak percaya apa
yang dikatakannya.
“Pak,
apakah yang dimaksud ibu itu benar, ibu kandung yang dimaksud ini bu F…?” ku meminta
penjelasan, seketika bu Farah menyela “Apa yang dikatakau beliau itu benar” Ku
memotong perkataan beliau diiring tangisan “Kalau misalnya ibu merupakan ibu
kandung, kenapa ibu diam saja, apa yang sebenarnya terjadi?”
Disaat
itu juga bapak menjelaskan lebih dalam, tangannya yang berkulit kuning langsat mengorek
kotak yang ia bawa seperti ingin memberikan bukti berupa bingkai foto “Nak,
liatlah, siapa orang yang menggendongmu di samping bapak”
Betapa
terkejutnya ketika melihat diriku yang kira-kira berumur 5 bulan sedang
digendong oleh bu Farah dan bapakku berada persis disampingnya. Aku membuka
mata lebar-lebar seolah-olah tak percaya, seperti berada di alam mimpi. Aku
bersikukuh kepada bapak supaya menjelaskan apa yang benar-benar terjadi “Pak,
coba jelaskan kenapa bisa begini, antara aku, ibu dengan bu Farah”
Bapak
menghirup napasnya dalam-dalam “Baiklah, semua ini berawal dari sebuah
kecelakaan kereta api di wilayah hutan Tasikmalaya yang jauh dari keramaian ketika
itu bapak bersama ibu kandungmu pergi ke rumah paman di Surabaya sedangkan kamu
bapak titipkan ke bibimu karena takut sakit. Kereta yang kita tumpangi masuk
jurang dan hampir seluruh gerbong terbakar, banyak yang tewas ditempat kejadian
dan banyak juga yang tewas ketika perawatan ditempat”. Kami bertiga
mendengarkan bapak berbicara dengan seksama sementara ibu mencoba untuk
menggenggam tanganku. “Bapak koma, tiga minggu lamanya terbaring di rumah sakit
sementara ibumu tak tahu dimana, berbulan-bulan lamanya bapak mencari semoga
mendapat keajaiban bahwa ibumu masih hidup namun hasilnya nihil. Akhirnya bapak
memutuskan untuk menikah lagi karena kamu masih kecil, butuh seorang ibu dan
butuh perawatan lebih. Pada saat itu juga bapak harus dimutasi ke kota Jakarta
dan menjual rumah yang di Bandung beserta isinya serta hanya membawa foto ini
sebagai kenang-kenangan bersama ibu kandungmu”. Bulir air mata keluar tak
terasa ketika mendengar kisah dari bapak. “Setelah 5 tahun pernikahan dengan
ibu tirimu, bapak berusaha untuk mencari kembali keberadaan ibu sebab beliau
selalu terbayang di dalam mimpi. Lama-lama, Mungkin ini bisa dikatakan mukjizat
dari tuhan, bapak berhasil menemukan ibu di sebuah pedesaan yang tidak jauh
dari tempat kecelakaan tersebut tapi ibumu tidak mengenali bapak karena mungkin
benturan keras akibat kecelakaan 4 tahun silam. Lambat laun dengan pengobatan
tradisional selama perawatan dari warga setempat ibumu bisa sembuh”. Aku menggenggam
erat tangan ibu dan tak kuat menahan tangis. “Bapak menceritakan perihal ini
kepada almarhum dan beliau dengan tangan terbuka menerima nasihat bapak karena
waktu itu status bapak adalah suami dari almarhum sehingga bapak dan beliau harus
menjaga rahasia ini kepada orang lain untuk tidak menimbulkan kecurigaan dan
khususnya kepadamu. Itulah sebab bapak tidak pernah menjelaskan dengan lengkap
alasan bapak berpisah dengan ibumu”.
Aku
berhenti menangis, ingin rasanya aku memeluk ibu namun bapak melanjutkan
pembicaraannya “Apakah kamu tau, kenapa ibumu ini selalu memanggilmu dengan
nama Rafa?”
Saat
itu juga rasa ingin tahu ku muncul yang selama ini selalu terbayang-bayang
ingatan “Tidak, memangnya kenapa pak? apakah ada sesuatu dengan nama ini ?”
Bapak
membalas “Nama kedua dari nama depan itu merupakan pemberian dari ibumu ketika
pertama kali kamu lahir kedunia. Cinta ibumu kepada bapak sangatlah besar
hingga beliau memberi nama Rafa yaitu perpaduan dari nama bapak sama ibu,
Rasyid dengan Farah.
Sejenak
aku membisu mendengar apa yang dikatakan bapak, suasana ruangan terasa hening. Mendadak
aku merasa dosa pada beliau karena telah membentaknya. Sungguh besar cinta
beliau kepada bapak, namaku menjadi ukiran kisah cinta. Aku pun menangis
tersedu-sedu, merangkulnya dan memeluk erat tubuh ibu “Maafkan Rafa ibu, Rafa
telah berkelakuan tidak sopan. Rafa sungguh tidak tahu. Rafa sayang ibu”.
Ibuku
membalas, lautan air mata menetes di bahu “Kamu tidak salah nak, ibu yang salah,
ibu yang seharusnya tidak melakukan hal yang telah membuatmu sedih. Ibu sayang
kamu”.
Hisak
tangis berbaur dengan rasa bahagia pada akhirnya. Kejadian ini seperti suatu
yang tidak disengaja, seperti sudah direncanakan dengan matang oleh Tuhan. Kisah
cerita cinta ibu kepada bapak sama seperti kisah cinta diriku kepada Kevin
sampai anakku diberi nama Kesha, kisah cinta Kevin dengan Shafira.
No comments:
Post a Comment