Friday, July 18, 2014

Senja Kala








Geliat manusia tak berdosa bak kerumunan sampah yang terbuang
Senja mentari memaparkan sinarnya terlalu remang
mengingatku hanya bisa bersandar dalam lamunan

Wednesday, July 9, 2014

Cinta ibu, Cintaku juga



Cuaca di pagi hari begitu mendung tapi belum nampak tentara air melakukan agresinya, tak kuasa aku terbangun, sedikit pusing karena dinginnya angin sampai menembus selimut dan kulitku diiringi suara berisik yang menyengat telinga hingga terasa sakit. Tak kuasa terbangun dari kasur dan menuju beranda. Terlihat bapak sedang mengerjakan sesuatu.
Akupun menyapa “Pagi pak?”
Bapakku menengok keatas lantas menjawab “Pagi juga nak, tumben jam segini baru bangun”.
Sambil cemberut manja aku menjawab “Karena bapak juga membuat Fira terbangun”.
“Maaf nak, bapak lagi memperbaiki pagar punya Bu Farah, kebetulan tadi malam beliau meminta tolong supaya pagar depan rumah beliau untuk diperbaiki”. Bapak menjawab sambil tersenyum.
“Dilanjutkan saja pak kerjaannya, semangat!!” Aku memotivasi, menutupi jendela kembali ke tempat tidur.
Diatas singgasana, aku menutupi sekujur tubuh yang kaku dengan selimut tebal berlambangkan klub sepakbola kesayangan, Juventus. Tak lama kemudian dengan lembutnya ibuku memanggil dari bawah “Fira, Fira.,.,. cepat bangun.,., kamu tidak kerja hari ini?”. Kujawab “Iya bu, sebentar lagi”
Aku terbangun dengan wajah malas melaju ke kamar mandi. Setelah semuanya siap, melangkahlah diriku menuju kantor, tak lupa mengucap salam dan mencium kedua tangan orang tuaku.
Sedikit cerita mengenai keluargaku, dulu sebelum bapak menikahi ibu, beliau sempat menikah dengan istri pertamanya, namun tidak begitu jelas alasan beliau berpisah dengan istri lamanya dan tak pernah menjelaskannya sama sekali. Ketika itu, aku baru beranjak di usia belum genap satu tahun, dan tak lama kemudian menikahlah dengan ibuku ini. Meskipun berstatus sebagai ibu tiri tapi aku selalu menganggapnya sebagai ibu kandungku sendiri, she is a great woman I ever have.
Di tengah perjalanan menuju stasiun, aku berpapasan dengan bu Farah yang terlihat membawa tas belanja yang penuh sesak dengan sayur-sayuran. Beliau tersenyum kepadaku lalu berkata “Selamat pagi nak Rafa? Tidak seperti biasanya kamu pergi sendirian, Ratna-nya kemana?”
Kubalas dengan senyuman dan menjawab “Selamat pagi bu, kebetulan Ratna sedang ada tugas keluar kota, jadinya berangkat sendirian”.
“Oh, kalau begitu hati-hati ya?” Beliau tersenyum dan aku pun berlalu.
Sebenarnya ada rasa heran sebab setiap berangkat kerja, aku selalu bertemu beliau dan selalu memanggilku Rafa, kepanjangan dari namaku Shafira Rafa Purnama. Sempat kepikiran barangkali ada kesamaan vocal huruf -a antara namaku dan beliau, ah entahlah. Beliau janda cantik di komplek ini.
Hujan mulai turun. Aku duduk di kursi dimana aku selalu melakukan pekerjaan dengan dihiasi tumpukan berkas-berkas di atas meja yang harus diselesaikan secepatnya. Dua tahun lamanya ku bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta di kota metropolitan ini. Sekian lama aku berhasrat untuk pindah kerja dan mencari tantangan baru di perusahaan lain, akan tetapi ada satu hal yang membuatku betah yaitu karena Kevin. Ya betul, seorang duda tampan yang berkulit putih dengan tebalnya janggut hitam di muka. Dia sudah bekerja disini kurang lebih 6 bulan.
Sejujurnya di usiaku yang menginjak umur 25 ini, rasa iri kerap menghinggapi kepada teman-teman sebaya yang sudah mengakhiri masa lajangnya diusia yang tepat, bahkan sampai mempunyai anak yang sudah bersekolah dan hidup bahagia. “Pagi Ra, bagaimana keadaanmu hari ini?” Hatiku berdegup kencang seakan-akan dunia ini akan dihantam gempa berkekuatan tinggi saat Kevin menegurku.
“Hmmm baik, kalau kamu?” Ku tak kuasa menahan gemetar dibibir saat menjawab.
“Baik juga, ngomong-ngomong nanti siang kita makan yuk? Nanti aku yang traktir deh” Dia tersenyum selagi memamerkan muka tampannya dihadapanku dan jantungku berdegup dengan sangat kencang.
Dengan rasa senang yang bercampur aduk, ku menganggukkan kepala dengan jawaban yang dingin “Hmmm, ok”
Setengah tumpukan berkas selesai dikerjakan dan menunjukan waktu istirahat. Dengan perasaan yang berbunga-bunga, aku merias wajah dulu sebelum Kevin datang ke mejaku.
“Ayo kita makan, aku sudah nggak tahan pengen makan ayam penyet di resto sana” Sambil membetulkan kerah kemejanya.
“Baiklah, aku sudah selesai dengan pekerjaanku mumpung hujannya lagi reda” Kujawab bersama Kevin dan langkah kakiku kesana.
Setelah makan siang, Kami kembali ke ruangan kerja masing-masing, Kami berdua memulai kembali pekerjaan sampai tak terasa waktu jam pulang pun tiba. Dari kejauhan dia seperti ingin menghampiri, ya betul sesuai dengan firasat, dia tersenyum dan mengajak diriku untuk pulang bersama.
“Ra, kita pulang bareng yu, sekalian kita mampir ke rumah makan dulu, barangkali kamu juga lapar kan?” Dia dengan tulus mencoba menawarkan kebaikannya, terlihat dari senyum dari bibirnya yang menawan seperti bunga mawar yang baru saja mekar.
Kujawab dengan halus “Maaf Vin, aku pulang sendiri aja, takut kemalaman dijalan”
“Ok, baiklah, tapi kamu gak apa-apa pulang sendirian?” Ucapnya.
“Gak apa-apa Vin, udah terbiasa kok” Kujawab dengan sedikit senyuman.
Sebenarnya dalam hati, ini merupakan momen yang tepat berduaan dengan Kevin tapi apa daya karena sifatku yang pemalu dan tidak mau merepotkan orang, kuputuskan untuk tidak menerima ajakan Kevin. Aku tinggalkan jejak ini, menembus semerawut kota yang lembab untuk pulang ke istana.
***
Para tamu undangan datang, salah satu hari besarku tiba, aku duduk di pelaminan bersama sang suami tercinta, Kevin. Tak terasa air mata yang berlinang keluar dari mata ini. Sejenak aku memikirkan ibu kandungku yang sudah almarhum. Mungkin jika ibu ada disini, lengkaplah sudah momen terindah ini. Namun, Seketika perasaanku tiba-tiba aneh ketika melihat ibu Farah datang ke atas pelaminan menyalami aku sembari matanya berkaca-kaca dipercantik dengan senyuman “Selamat ya nak, akhirnya impianmu terwujud” Ucap bu Farah. Aku merasa bingung apa yang sebenarnya terjadi tiba-tiba beliau mengatakan tersebut. Aku pun tak ambil pusing, mungkin karena bu Farah terharu dengan suasana pernikahan ini.
***
2 tahun sudah aku menjalani hidup sebagai istri Kevin yang telah dikaruniai dengan satu anak perempuan yang cantik dan tinggal di rumah nan sederhana yang dihiasi kebun mawar di Kota Bogor serta 1 bulan sudah ibu meninggalkanku akibat sakit keras. Wanita yang hebat telah pergi untuk selama-lamanya.
Di suatu hari, Kevin mengajakku untuk berlibur ke rumah Bapak, tak lupa inisatifnya Kevin membawakan talas Bogor kesukaan beliau. Hujan turun menghujani kota selama perjalanan. Tibalah kami di tujuan. Ku mengetuk pintu rumah namun tak terturup rapat. Alangkah terkejutnya ketika kami melihat bu Farah sedang terlihat serius mengobrol dengan bapak di ruang keluarga membuatku mengingat kembali almarhum ibu. Di dalam hatiku berkata bapak sungguh tega, baru saja satu bulan ditinggal ibu, bapak sudah pengen mencari pengganti yang baru. Hal itu menimbulkan prasangka kepada mereka berdua, jangan-jangan apa yang sudah dilakukan ketika satu bulan bapak ditinggal ibu. Dari belakang Kevin mengendong anakku saat aku masuk ke dalam dengan emosi.
“Nak, jangan berburuk sangka dulu, ibu mau  menjelaskan” Dengan suara yang lembut ibu Farah mencoba menenangkan.
“Ibu darimana!!? ibuku sudah meninggal !!!” Emosi diriku memuncak.
Bapak coba membantu menenangkan “Dengarkan dulu nak, ada sesuatu yang harus dijelaskan”.
“Tak ada yang harus dijelaskan pak, Ninda sudah lihat dengan kepala dan mataku sendiri, sungguh teganya bapak mengkhianati ibu” Diriku meledak-ledak seperti halnya gunung Krakatau yang meletus.
Emosiku sedikit kian surut ketika dengan lembutnya Kevin menenangkan “Tenang dulu mah, tenang, biarkan bapak sama bu Farah bicara apa yang terjadi sesungguhnya”
Aku terdiam, cucuran air mata mengalir di pipi, bu Farah mencoba membasuhnya tetapi aku menangkalnya. Aku memandang beliau dengan seksama, matanya berkaca-kaca. Dengan kejadian ini, aku bertanya-tanya, apa yang terjadi.
Bapak mulai menjelaskan dihadapanku, aku duduk diapit oleh suamiku dan bu Farah “Sebenarnya bapak sedang berdiskusi tentang rahasia ini bersama bu Farah untuk membuka ini kepadamu dan kebetulan ini lah momen yang tepat untuk dibicarakan. Begini nak, sudah lama bapak berkeinginan untuk mengutarakan ini tetapi ibumu mencegah karena ibu sendiri yang ingin menyampaikannya kepadamu langsung namun beliau dilema sebab beliau terlalu sayang padamu dan takut kamu tidak menyayangi beliau lagi, sehingga sampai beliau masih hidup rahasia ini terus dipendam. Kembali diriku mengingat wajah beliau.
“Dua hari sebelum beliau wafat, beliau menyampaikan pesan untuk membukanya suatu saat nanti” Bapak menuju kamar untuk membawa sesuatu, Kevin disamping terus menerus tanpa henti mengusap pundakku.
Bapak menyodorkan selembar kertas padaku “Ini bacalah”
Kubaca kata per kata, kalimat per kalimat secara detail apa yang beliau tulis, rasa sedih terus menerus menggelayut tak kuasa hati ingin memeluk beliau, terbayang wajah ayu beliau. Tiba-tiba, tanda tanya besar muncul di benak, ketika dalam surat itu di paragraph terakhir beliau menulis “Jaga dan rawat bapak sama ibumu, ibu tahu kamu sedang membaca surat ini bersama beliau, buat mereka bangga” Aku pun terbelalak, apa yang dimaksud itu mungkin bu Farah. Aku masih tak percaya apa yang dikatakannya.
“Pak, apakah yang dimaksud ibu itu benar, ibu kandung yang dimaksud ini bu F…?” ku meminta penjelasan, seketika bu Farah menyela “Apa yang dikatakau beliau itu benar” Ku memotong perkataan beliau diiring tangisan “Kalau misalnya ibu merupakan ibu kandung, kenapa ibu diam saja, apa yang sebenarnya terjadi?”
Disaat itu juga bapak menjelaskan lebih dalam, tangannya yang berkulit kuning langsat mengorek kotak yang ia bawa seperti ingin memberikan bukti berupa bingkai foto “Nak, liatlah, siapa orang yang menggendongmu di samping bapak”
Betapa terkejutnya ketika melihat diriku yang kira-kira berumur 5 bulan sedang digendong oleh bu Farah dan bapakku berada persis disampingnya. Aku membuka mata lebar-lebar seolah-olah tak percaya, seperti berada di alam mimpi. Aku bersikukuh kepada bapak supaya menjelaskan apa yang benar-benar terjadi “Pak, coba jelaskan kenapa bisa begini, antara aku, ibu dengan bu Farah”
Bapak menghirup napasnya dalam-dalam “Baiklah, semua ini berawal dari sebuah kecelakaan kereta api di wilayah hutan Tasikmalaya yang jauh dari keramaian ketika itu bapak bersama ibu kandungmu pergi ke rumah paman di Surabaya sedangkan kamu bapak titipkan ke bibimu karena takut sakit. Kereta yang kita tumpangi masuk jurang dan hampir seluruh gerbong terbakar, banyak yang tewas ditempat kejadian dan banyak juga yang tewas ketika perawatan ditempat”. Kami bertiga mendengarkan bapak berbicara dengan seksama sementara ibu mencoba untuk menggenggam tanganku. “Bapak koma, tiga minggu lamanya terbaring di rumah sakit sementara ibumu tak tahu dimana, berbulan-bulan lamanya bapak mencari semoga mendapat keajaiban bahwa ibumu masih hidup namun hasilnya nihil. Akhirnya bapak memutuskan untuk menikah lagi karena kamu masih kecil, butuh seorang ibu dan butuh perawatan lebih. Pada saat itu juga bapak harus dimutasi ke kota Jakarta dan menjual rumah yang di Bandung beserta isinya serta hanya membawa foto ini sebagai kenang-kenangan bersama ibu kandungmu”. Bulir air mata keluar tak terasa ketika mendengar kisah dari bapak. “Setelah 5 tahun pernikahan dengan ibu tirimu, bapak berusaha untuk mencari kembali keberadaan ibu sebab beliau selalu terbayang di dalam mimpi. Lama-lama, Mungkin ini bisa dikatakan mukjizat dari tuhan, bapak berhasil menemukan ibu di sebuah pedesaan yang tidak jauh dari tempat kecelakaan tersebut tapi ibumu tidak mengenali bapak karena mungkin benturan keras akibat kecelakaan 4 tahun silam. Lambat laun dengan pengobatan tradisional selama perawatan dari warga setempat ibumu bisa sembuh”. Aku menggenggam erat tangan ibu dan tak kuat menahan tangis. “Bapak menceritakan perihal ini kepada almarhum dan beliau dengan tangan terbuka menerima nasihat bapak karena waktu itu status bapak adalah suami dari almarhum sehingga bapak dan beliau harus menjaga rahasia ini kepada orang lain untuk tidak menimbulkan kecurigaan dan khususnya kepadamu. Itulah sebab bapak tidak pernah menjelaskan dengan lengkap alasan bapak berpisah dengan ibumu”.
Aku berhenti menangis, ingin rasanya aku memeluk ibu namun bapak melanjutkan pembicaraannya “Apakah kamu tau, kenapa ibumu ini selalu memanggilmu dengan nama Rafa?”
Saat itu juga rasa ingin tahu ku muncul yang selama ini selalu terbayang-bayang ingatan “Tidak, memangnya kenapa pak? apakah ada sesuatu dengan nama ini ?”
Bapak membalas “Nama kedua dari nama depan itu merupakan pemberian dari ibumu ketika pertama kali kamu lahir kedunia. Cinta ibumu kepada bapak sangatlah besar hingga beliau memberi nama Rafa yaitu perpaduan dari nama bapak sama ibu, Rasyid dengan Farah.
Sejenak aku membisu mendengar apa yang dikatakan bapak, suasana ruangan terasa hening. Mendadak aku merasa dosa pada beliau karena telah membentaknya. Sungguh besar cinta beliau kepada bapak, namaku menjadi ukiran kisah cinta. Aku pun menangis tersedu-sedu, merangkulnya dan memeluk erat tubuh ibu “Maafkan Rafa ibu, Rafa telah berkelakuan tidak sopan. Rafa sungguh tidak tahu. Rafa sayang ibu”.
Ibuku membalas, lautan air mata menetes di bahu “Kamu tidak salah nak, ibu yang salah, ibu yang seharusnya tidak melakukan hal yang telah membuatmu sedih. Ibu sayang kamu”.
Hisak tangis berbaur dengan rasa bahagia pada akhirnya. Kejadian ini seperti suatu yang tidak disengaja, seperti sudah direncanakan dengan matang oleh Tuhan. Kisah cerita cinta ibu kepada bapak sama seperti kisah cinta diriku kepada Kevin sampai anakku diberi nama Kesha, kisah cinta Kevin dengan Shafira.