Thursday, April 16, 2015

Nasib Negara Semenjana



Berbicara tentang Piala Dunia mungkin masih terlalu dini untuk dibicarakan karena pagelaran tersebut akan digelar 3 tahun lagi, tepatnya tahun 2018 dimana Rusia sebagai tuan rumah. Belum lama ini Piala Dunia 2014 edisi keduapuluh semua orang tahu bahwa gol tunggal Mario Götze di babak perpanjangan waktu membawa Jerman merengkuh tropi Piala Dunia untuk yang keempat kalinya setelah mengandaskan Argentina. Hampir pasti euphoria itu dirasakan oleh bangsa Indonesia apalagi membayangkan betapa bahagianya orang-orang Jerman setelah menjadi saksi sejarah negaranya menjuarai turnamen tersebut, sudah hampir 14 tahun negara yang terkenal dengan tembok Berlin nya itu mengangkat trofi sejak terakhir kali Piala Dunia edisi keempat belas tahun 1990 di Italia
.
Sebagai orang Indonesia, kita berpikir itu merupakan hal yang mustahil menjuarai turnamen akbar sekelas Piala Dunia. Jangankan untuk menjuarai, masuk kedalam 32 tim peserta pun tidak malahan Timnas kita harus terhenti di babak kualifikasi babak ketiga Zona Asia meskipun pernah masuk Piala Dunia tahun 1938 di Prancis dengan nama Hindia Belanda. Yang paling memalukan Timnas Bahrain membantainya dengan skor 10-0, menjadikan kekalahan terbesar Timnas Indonesia sepanjang sejarah yang sebelumnya 9-0 oleh Timnas Denmark.

Namun demikian, negara Indonesia diakui sepakbolanya meskipun hanya di wilayah Asia Tenggara. Akan tetapi, permasalahan-permasalahan mendasar yang dimulai dengan tunggakan gajian pemain, pengunduran kompetisi yang tak menentu, kericuhan antar supporter, dll masih saja menjadi makanan sehari-hari yang berefek pada penurunan performa Timnas. Masih segar diingatan kita ketika Timnas Filipina berhasil mencetak empat gol tanpa balas di pagelaran Piala Suzuki AFF 2014 dan menjadikan kemenangan pertamanya yang sebelumnya menjadi target sarang gol untuk Timnas Indonesia.
 
Setidaknya ada kebanggaan walau pernah menjadi bulan-bulanan Bahrain dan menderita kekalahan yang cukup memalukan dari Filipina, Timnas kita yang diatur oleh badan organisasi PSSI dan anggota FIFA sejak tahun 1954, sudah menjadi langganan peserta babak kualifikasi di setiap edisinya. Bagaimana kalau jika kita terlahir di negara yang sepakbolanya tidak semaju (dalam pengecualian) dan semeriah Indonesia? Semisal Laos, Kamboja, atau Timor Leste yang mana untuk mengikuti Piala AFF saja harus bertanding lewat babak kualifikasi. Atau menjadi warga negara paling buncit di Rangking FiFA, Bhutan, yang harus menunggu tujuh tahun lamanya setelah menjungkalkan Sri Lanka 1-2 sejak kemenangan terakhir lawan Afghanistan.

Secara geopolitik juga, negara Indonesia diakui keberadaannya secara de facto dan de jure. Lain halnya dengan negara-negara semenjana, negara yang merdeka tapi tidak diakui dengan kata lain negara-negara yang memiliki pengakuan terbatas. Negara yang ingin diakui sebagai negara di bawah hukum internasional tetapi tidak ada pengakuan diplomatik dari negara lain (atau hanya beberapa yang mengakui).

Setiap Negara wajib memiliki kedua entitas untuk diakui keberadaannya sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu diakui secara de facto dan de jure. De facto adalah yang berarti “pada kenyataannya (ada)”, negara tersebut memiliki pemerintahan, bangsa (masyarakat), dan wilayah sedangkan de jure yang berarti “menurut hukum”, adanya pengakuan secara diplomatis dari negara lain. Dengan kedua entitas tersebut, maka hal itulah menjadikan suatu negara berdaulat secara penuh. Biasanya Negara tersebut kebanyakan merupakan negara separatis dari negara induknya seperti Abkhazia (Negara separatis Georgia), Nagorno-Karabakh (Azerbaijan), Kurdistan (Irak), Republik Turki Siprus Utara (Siprus) dll.

Berbicara tentang separatis dalam sepakbola, kita pasti mengingatkan dengan Catalonia, dengan klub sepakbolanya Barcelona, sebagai identitas bangsa Catalan yang sekarang masih memperjuangkan haknya untuk merdeka dari Spanyol meski bukan sebuah negara melainkan hanyalah salah satu wilayah otonomi dari Spanyol. Jika Catalonia berpisah dengan Spanyol, akan menjadi kerugian besar karena Barcelona juga harus keluar dari La Liga sebagaimana Undang-Undang olahraga Spanyol yang menyatakan hanya ada satu negara yang boleh mengikuti La Liga, ialah Andorra. Andai itu terjadi mungkin La Liga bagaikan sayur tanpa garam.

Alasan mendasar suatu negara ingin berpisah dilecuti oleh beberapa faktor, diawali dengan perbedaan bangsa, sejarah, maupun agama dengan negara induknya. Contohnya negara Turki Siprus Utara yang lahir dari rahim Republik Siprus, sesuai dengan namanya negara tersebut diisi oleh bangsa Turki yang kebanyakan beragama muslim. Sedangkan Republik Siprus dihuni oleh bangsa Yunani, bermayoritaskan beragama Kristen Yunani Ortodok.

Bagaimana perkembangan sepakbola di kedua negara tersebut? Baiklah kita bahas terlebih dahulu persepakbolaan negara Siprus. Sepakbola Siprus berada peringkat 85 dunia dan dikontrol oleh Asosiasi Sepakbola Siprus (CFA) bergabung dengan FIFA pada tahun 1948 dan UEFA pada tahun 1962. Meskipun tidak pernah masuk putaran final Piala Dunia dan Piala Eropa, klub-klub dari negara tersebut cukup diperhitungkan sebagaimana contohnya pada kompetisi Liga Champion tahun 2011-2012 APOEL FC berhasil mengalahkan Olympique Lyonnais lewat babak adu penalty yang membuat sejarah satu-satunya klub dari Siprus yang berhasil masuk perempat final. Serta, di babak penyisihan Piala Eropa 2016 Siprus juga diunggulkan untuk lolos dengan menempati posisi ketiga di bawah 2 peserta dari 32 tim Piala Dunia 2014; Bosnia-Herzegovina dan Belgia.

Di sisi lain wilayah utara negara Siprus, Republik Turki Siprus Utara muncul sebagai negara de facto. Memang cukup asing di telinga kita bahwa ada negara lain di pulau Siprus apalagi dengan pesepakbolaannya. Di negara dengan pengakuan terbatas itu liga sepakbola memang ada dimainkan sebagaimana format kompetisi biasa selayaknya liga-liga lain. Namun demikian, tidak ada perwakilan satu pun klub untuk mewakili negara dengan beribukota Nicosia Utara ini di kancah sepakbola internasional seperti penyisihan putaran final Piala Dunia, Eropa, Liga Champions atau Liga Eropa. Itu dikarenakan tidak adanya pengakuan bahwa negara tersebut secara de jure benar-benar ada.

Tapi, Siprus Utara bukan hanya satu-satunya negara semenjana yang berada di dalam ketidakpastian. Kurdistan, negara dengan beretniskan bangsa Kurdi juga mengalami hal serupa. Meskipun begitu kedua negara tersebut aktif di kancah internasional namun bukan ajang resmi yang dibentuk oleh FIFA melainkan oleh N.F.Board, asosiasi sepakbola yang didirikan bagi negara-negara yang tidak diakui didunia tepatnya dibentuk pada bulan 12  Desember 2013 di sebuah pub di kota Brussel, Belgia.

N.F.Board sendiri sudah menyelenggarakan Piala Dunia 6 kali, 5 kali Piala Dunia sepakbola pria dan 1 kali Piala Dunia sepakbola wanita sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2006. Uniknya nama turnamen tersebut mirip dengan saingannya FIFA, yaitu VIVA World Cup. Meski tidak semeriah Piala Dunia FIFA akan tetapi inilah kesempatan bagi negara-negara semenjana untuk unjuk gigi di kancah internasional. Terakhir kali turnamen ini dilaksanakan sekitar 3 tahun lalu di Kurdistan (Irak) dimana tuan rumah Kurdistan berhasil menjadi juara setelah menumbangkan Siprus Utara 2-1.

Oleh karenanya, sebagai manusia yang beragama kadang kala bersyukur itu penting. Seberat atau sesulit apa pun hidup kita mungkin itu yang terbaik buat diri kita. Seperti halnya negara kita, sepatutnya harus disyukuri bahwa Indonesia diakui di seluruh penjuru dunia baik dalam politik, ekonomi, olahraga, dll. Meskipun, keadaan dalam negeri sepakbola Indonesia sedang carut marut dan keadaan luar negeri sepakbola Indonesia dipandang tidak terlalu bagus, tapi nyatanya kita bisa berpartisipasi di ajang resmi yang dinaungi oleh FIFA.

Apa jadinya jika Indonesia termasuk negara semenjana? Mungkin kita tidak akan pernah menjadi tuan rumah Piala Asia 2007 atau melihat tendangan akrobatik dari Widodo Cahyono Putro 19 tahun silam.

Sumber:
http://www.national-football-teams.com/leagues/239/2013_1/Northern_Cyprus