Berbicara tentang Piala Dunia mungkin masih
terlalu dini untuk dibicarakan karena pagelaran tersebut akan digelar 3 tahun
lagi, tepatnya tahun 2018 dimana Rusia sebagai tuan rumah. Belum lama ini Piala
Dunia 2014 edisi keduapuluh semua orang tahu bahwa gol tunggal Mario Götze di
babak perpanjangan waktu membawa Jerman merengkuh tropi Piala Dunia untuk yang
keempat kalinya setelah mengandaskan Argentina. Hampir pasti euphoria itu
dirasakan oleh bangsa Indonesia apalagi membayangkan betapa bahagianya orang-orang
Jerman setelah menjadi saksi sejarah negaranya menjuarai turnamen tersebut,
sudah hampir 14 tahun negara yang terkenal dengan tembok Berlin nya itu
mengangkat trofi sejak terakhir kali Piala Dunia edisi keempat belas tahun 1990
di Italia
.
Sebagai orang Indonesia, kita berpikir itu
merupakan hal yang mustahil menjuarai turnamen akbar sekelas Piala Dunia.
Jangankan untuk menjuarai, masuk kedalam 32 tim peserta pun tidak malahan
Timnas kita harus terhenti di babak kualifikasi babak ketiga Zona Asia meskipun
pernah masuk Piala Dunia tahun 1938 di Prancis dengan nama Hindia Belanda. Yang
paling memalukan Timnas Bahrain membantainya dengan skor 10-0, menjadikan
kekalahan terbesar Timnas Indonesia sepanjang sejarah yang sebelumnya 9-0 oleh
Timnas Denmark.
Namun demikian, negara Indonesia diakui
sepakbolanya meskipun hanya di wilayah Asia Tenggara. Akan tetapi,
permasalahan-permasalahan mendasar yang dimulai dengan tunggakan gajian pemain,
pengunduran kompetisi yang tak menentu, kericuhan antar supporter, dll masih
saja menjadi makanan sehari-hari yang berefek pada penurunan performa Timnas.
Masih segar diingatan kita ketika Timnas Filipina berhasil mencetak empat gol
tanpa balas di pagelaran Piala Suzuki AFF 2014 dan menjadikan kemenangan
pertamanya yang sebelumnya menjadi target sarang gol untuk Timnas Indonesia.
Setidaknya ada kebanggaan walau pernah menjadi
bulan-bulanan Bahrain dan menderita kekalahan yang cukup memalukan dari
Filipina, Timnas kita yang diatur oleh badan organisasi PSSI dan anggota FIFA
sejak tahun 1954, sudah menjadi langganan peserta babak kualifikasi di setiap
edisinya. Bagaimana kalau jika kita terlahir di negara yang sepakbolanya tidak
semaju (dalam pengecualian) dan semeriah Indonesia? Semisal Laos, Kamboja, atau
Timor Leste yang mana untuk mengikuti Piala AFF saja harus bertanding lewat
babak kualifikasi. Atau menjadi warga negara paling buncit di Rangking FiFA,
Bhutan, yang harus menunggu tujuh tahun lamanya setelah menjungkalkan Sri Lanka
1-2 sejak kemenangan terakhir lawan Afghanistan.
Secara geopolitik juga, negara Indonesia diakui
keberadaannya secara de facto dan de jure. Lain
halnya dengan negara-negara semenjana, negara yang merdeka tapi tidak diakui
dengan kata lain negara-negara yang memiliki pengakuan terbatas. Negara yang
ingin diakui sebagai negara di bawah hukum internasional tetapi tidak ada
pengakuan diplomatik dari negara lain (atau hanya beberapa yang mengakui).
Setiap Negara wajib memiliki kedua entitas untuk
diakui keberadaannya sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu diakui secara de facto dan de jure. De facto
adalah yang berarti “pada kenyataannya (ada)”, negara tersebut memiliki
pemerintahan, bangsa (masyarakat), dan wilayah sedangkan de jure yang
berarti “menurut hukum”, adanya pengakuan secara diplomatis dari negara lain.
Dengan kedua entitas tersebut, maka hal itulah menjadikan suatu negara
berdaulat secara penuh. Biasanya Negara tersebut kebanyakan merupakan negara
separatis dari negara induknya seperti Abkhazia (Negara separatis Georgia),
Nagorno-Karabakh (Azerbaijan), Kurdistan (Irak), Republik Turki Siprus Utara
(Siprus) dll.
Berbicara tentang separatis dalam sepakbola, kita
pasti mengingatkan dengan Catalonia, dengan klub sepakbolanya Barcelona,
sebagai identitas bangsa Catalan yang sekarang masih memperjuangkan haknya
untuk merdeka dari Spanyol meski bukan sebuah negara melainkan hanyalah salah
satu wilayah otonomi dari Spanyol. Jika Catalonia berpisah dengan Spanyol, akan
menjadi kerugian besar karena Barcelona juga harus keluar dari La Liga
sebagaimana Undang-Undang olahraga Spanyol yang menyatakan hanya ada satu
negara yang boleh mengikuti La Liga, ialah Andorra. Andai itu terjadi mungkin
La Liga bagaikan sayur tanpa garam.
Alasan mendasar suatu negara ingin berpisah dilecuti
oleh beberapa faktor, diawali dengan perbedaan bangsa, sejarah, maupun agama
dengan negara induknya. Contohnya negara Turki Siprus Utara yang lahir dari
rahim Republik Siprus, sesuai dengan namanya negara tersebut diisi oleh bangsa
Turki yang kebanyakan beragama muslim. Sedangkan Republik Siprus dihuni oleh
bangsa Yunani, bermayoritaskan beragama Kristen Yunani Ortodok.
Bagaimana perkembangan sepakbola di kedua negara
tersebut? Baiklah kita bahas terlebih dahulu persepakbolaan negara Siprus. Sepakbola
Siprus berada peringkat 85 dunia dan dikontrol oleh Asosiasi Sepakbola Siprus
(CFA) bergabung dengan FIFA pada tahun 1948 dan UEFA pada tahun 1962. Meskipun
tidak pernah masuk putaran final Piala Dunia dan Piala Eropa, klub-klub dari
negara tersebut cukup diperhitungkan sebagaimana contohnya pada kompetisi Liga
Champion tahun 2011-2012 APOEL FC berhasil mengalahkan Olympique Lyonnais lewat
babak adu penalty yang membuat sejarah satu-satunya klub dari Siprus yang
berhasil masuk perempat final. Serta, di babak penyisihan Piala Eropa 2016
Siprus juga diunggulkan untuk lolos dengan menempati posisi ketiga di bawah 2
peserta dari 32 tim Piala Dunia 2014; Bosnia-Herzegovina dan Belgia.
Di sisi lain wilayah utara negara Siprus,
Republik Turki Siprus Utara muncul sebagai negara de facto. Memang
cukup asing di telinga kita bahwa ada negara lain di pulau Siprus apalagi
dengan pesepakbolaannya. Di negara dengan pengakuan terbatas itu liga sepakbola
memang ada dimainkan sebagaimana format kompetisi biasa selayaknya liga-liga
lain. Namun demikian, tidak ada perwakilan satu pun klub untuk mewakili negara
dengan beribukota Nicosia Utara ini di kancah sepakbola internasional seperti
penyisihan putaran final Piala Dunia, Eropa, Liga Champions atau Liga Eropa.
Itu dikarenakan tidak adanya pengakuan bahwa negara tersebut secara de jure
benar-benar ada.
Tapi, Siprus Utara bukan hanya satu-satunya
negara semenjana yang berada di dalam ketidakpastian. Kurdistan, negara dengan
beretniskan bangsa Kurdi juga mengalami hal serupa. Meskipun begitu kedua
negara tersebut aktif di kancah internasional namun bukan ajang resmi yang
dibentuk oleh FIFA melainkan oleh N.F.Board, asosiasi sepakbola yang didirikan
bagi negara-negara yang tidak diakui didunia tepatnya dibentuk pada bulan 12 Desember
2013 di sebuah pub di kota Brussel, Belgia.
N.F.Board sendiri sudah menyelenggarakan Piala
Dunia 6 kali, 5 kali Piala Dunia sepakbola pria dan 1 kali Piala Dunia
sepakbola wanita sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2006. Uniknya
nama turnamen tersebut mirip dengan saingannya FIFA, yaitu VIVA World Cup.
Meski tidak semeriah Piala Dunia FIFA akan tetapi inilah kesempatan bagi
negara-negara semenjana untuk unjuk gigi di kancah internasional. Terakhir kali
turnamen ini dilaksanakan sekitar 3 tahun lalu di Kurdistan (Irak) dimana tuan
rumah Kurdistan berhasil menjadi juara setelah menumbangkan Siprus Utara 2-1.
Oleh karenanya, sebagai manusia yang beragama
kadang kala bersyukur itu penting. Seberat atau sesulit apa pun hidup kita
mungkin itu yang terbaik buat diri kita. Seperti halnya negara kita, sepatutnya
harus disyukuri bahwa Indonesia diakui di seluruh penjuru dunia baik dalam
politik, ekonomi, olahraga, dll. Meskipun, keadaan dalam negeri sepakbola
Indonesia sedang carut marut dan keadaan luar negeri sepakbola Indonesia
dipandang tidak terlalu bagus, tapi nyatanya kita bisa berpartisipasi di ajang
resmi yang dinaungi oleh FIFA.
Apa jadinya jika Indonesia termasuk negara
semenjana? Mungkin kita tidak akan pernah menjadi tuan rumah Piala Asia 2007
atau melihat tendangan akrobatik dari Widodo Cahyono Putro 19 tahun silam.
Sumber:
http://www.national-football-teams.com/leagues/239/2013_1/Northern_Cyprus
No comments:
Post a Comment